HarianUpdate.com | Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, 23 Oktober 2025
I. Introduksi: Sinergi yang Tidak Terhindarkan
Hukum dan politik adalah dua kutub yang saling tarik menarik dan tidak terpisahkan dalam sistem ketatanegaraan. Politik, pada hakikatnya, merupakan strategi dan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif, utamanya adalah merebut dan menjalankan kekuasaan. Sementara itu, hukum berfungsi sebagai pagar pembatas dan landasan legitimasi. Sinergi keduanya tercermin dalam adagium klasik: politik tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan (tirani), sedangkan hukum tanpa politik adalah angan-angan atau utopia yang tidak memiliki daya implementasi. Setiap aktivitas kita, dari berjuang meraih gelar di kampus hingga membuat kebijakan negara, pada dasarnya adalah manifestasi dari interaksi hukum dan politik.
II. Problem Inti: Erosi Akuntabilitas dalam Pemilu
Interaksi paling intensif antara hukum dan politik terjadi selama masa Pemilihan Umum (Pemilu), yang dilaksanakan setiap lima tahun. Dalam kontestasi ini, calon legislatif dan eksekutif (DPR, Presiden, Gubernur, dan lain-lain) berlomba-lomba menawarkan “kontrak sosial” dalam bentuk janji-janji kampanye—mulai dari program ambisius pembangunan infrastruktur, menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang merata, hingga visi menyejahterakan rakyat. Janji-janji manis ini lantas menjadi modal utama untuk menarik simpati dan kepercayaan masyarakat, sekaligus menentukan arah pilihan politik pemilih.
Namun, di sinilah letak anomali terbesar dalam sistem ketatanegaraan kita. Meskipun proses dan regulasi politik diatur secara ketat, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik—yang mencakup 51 pasal tentang visi-misi parpol hingga alokasi anggaran—aturan tersebut sama sekali tidak menyentuh dimensi akuntabilitas janji kampanye. Hukum mengatur bagaimana seseorang berkuasa, tetapi tidak mengatur sanksi ketika kekuasaan itu digunakan untuk mengingkari janji yang menjadi dasarnya.
III. Dampak Kesenjangan Hukum: Impunitas Politik
Ketiadaan regulasi yang tegas tentang janji kampanye menciptakan zona impunitas di bidang politik. Calon yang terpilih memiliki keleluasaan untuk tidak menepati apa yang telah mereka janjikan, tanpa khawatir adanya dampak hukum, sanksi pidana, atau bahkan sanksi perdata yang signifikan. Kesenjangan ini mengikis kepercayaan publik (public trust) dan melanggengkan praktik kebohongan politik.
Ambil contoh konkret dari Pemilu 2024. Salah satu janji kunci dari pasangan eksekutif terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, adalah penciptaan 19 juta lapangan pekerjaan dalam masa jabatan mereka. Setelah satu tahun menjabat, bukan pertambahan lapangan kerja yang terjadi, tetapi justru munculnya fenomena peningkatan angka pengangguran dan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Janji tersebut terbukti tidak realistis atau belum mampu dipenuhi.
Kasus-kasus seperti ini memunculkan pertanyaan fundamental bagi masyarakat pemilih: Jika legislatif atau eksekutif ingkar janji, kepada lembaga mana masyarakat harus mengadu? Mengingat mereka dipilih berdasarkan janji-janji tersebut, ingkar janji sama saja dengan mencederai kedaulatan rakyat. Saat ini, mekanisme yang tersedia hanyalah sanksi sosial atau penantian di Pemilu berikutnya, yang jelas tidak proporsional dengan kerugian yang ditimbulkan.
IV. Rekomendasi Solusi: Mengikat Janji dengan Perjanjian Formal
Kami, sebagai insan akademik dan mahasiswa yang mengedepankan kritik konstruktif terhadap kebijakan publik, melihat kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan hukum ini. Sudah saatnya sistem ketatanegaraan kita bertransformasi dari sekadar sistem yang berorientasi pada proses menuju sistem yang berorientasi pada hasil (akuntabilitas).
Kami mengusulkan agar Janji-Janji Politik dari calon legislatif dan eksekutif dituangkan dalam suatu instrumen perjanjian formal yang memiliki kekuatan hukum. Instrumen ini harus:
1. Didaftarkan secara resmi kepada lembaga pengawas (misalnya Bawaslu atau KPU) sebelum Pemilu.
2. Memuat klausul tentang konsekuensi hukum (bisa berupa sanksi administratif, denda, atau mekanisme recall) jika janji-janji strategis tidak terpenuhi tanpa alasan yang sah dan terukur.
3. Memberikan legal standing kepada masyarakat atau lembaga sipil untuk mengajukan gugatan atau keberatan jika terjadi ingkar janji.
4. Menciptakan kesepakatan yang mengikat ini akan memaksa calon pemimpin untuk menyusun program yang realistis dan terukur, bukan sekadar narasi manis. Hal ini akan mengembalikan marwah kedaulatan rakyat, di mana masyarakat tidak hanya menentukan siapa yang dipilih, tetapi juga menentukan konsekuensi bagi mereka yang gagal memenuhi mandat yang diberikan. (Red)
Penulis: Fredi Alexander Siringo, Rikso Rafael Silaban, Khoirul Umam Lubis Muhammad Dino, Muhammad Iqbal Tawakal
Komentar